One Day in My Ordinary Life.
Satu pagi saat antri menuju Pasmod terjadilah percakapan seperti ini.. awalnya karena sedang monolog kira -kira mau bikin apa untuk sarapan yang sekarang jumlah orangnya lebih banyaaaak.. Alhamdullilah.
"Ih aku gak mau deh beli-beli lagi makanan kaya nasi tim gitu.. Ya ampun harganya mahal bangeet."
Hahaha.. Iya beneran banget saya masih gagal move on dari kehidupan di Semarang yang everything you can afford happily. Satu porsi nasi tim itu harganya hampir dua kali lipat harga Nasi Ayam yang enak. Nasi ayam itu adalah hidangan yang terdiri nasi liwet (hmm enak), lalu diberi suwiran daging ayam, telur pindang, tahu dan sayur labu siam berbumbu kuning sejenis lodeh. Dihidangkannya dipincuk yang beralaskan daun pisang.. Sedangkan nasi tim itu adalah hidangan nasi yang ditim dalam mangkuk sebesaran kobokan cuci tangan (gak lucu banget padanannya ya.. masa kobokan cuci tangan.. Tapi iya kaan.. cetakan nasi tim itu memang seperti kobokan cuci tangan.. Maap yaaa.. :P) pake daging ayam cincang dan dikasih separo telur asin dibagian tengahnya.
Lalu percakapan jadi merembet juga ke Lontong sayur Medan yang sebelumnya digemari suami saya tapi setelah pindah ke Semarang ternyata haduuh gak ada apa apanya deh rasanya... Hihii itu juga saya bilang mendingan lontong opor yang deket rumah ya (di Semarang maksudnya).. Yang rasa kuah santannya itu berasa santan kelapa asli berbaur dengan bumbu opor yan masih tercium harumnya sehingga anak saya gemar banget nyeruput kuah opor sama halnya dia menggemari juga kuah santan encer yang disajikan bersama nasi ayam. Lalu saya jadi teringat Warung makan Ibu Tum deket rumah yang buka dari hari Rabu-Minggu.. Hari Sabtu atau Minggu sehabis olahraga kadang (sering?) saya jajan pecel ditempat itu. Disitu gorengannya buanyaak, macem-macem dan enaak. Jadi saya senengannya memesan pecel yang tanpa tauge dan kacang panjang dengan bumbu yang ditaro dipinggirnya.. Karena apa bumbunya ditaro dipinggir? karena supaya saya sendiri yang memegang kendali atas sibumbu pecel itu.. :) Karena sebetulnya saya kurang suka jenis-jenis makanan berbumbu kacang yang kental.. Biasanya saat makan gado-gado atau siomay, saya pasti harus menyisihkan bumbu-bumbu itu.. Catat yaa.. saya yang memegang kendali atas si bumbu kacang.. hihi norak banget..
Di Warung itu biasanya saya memesan pecel dan tahu susur (tahu isi toge dan sayuran lain).
Lalu akhirnya obrolan jadi menyepakati tentang perbedaan antara tempat penjual makanan yang ada di Semarang khususnya di Jawa Tengah umumnya dan penjual makanan yang ada di Pasmod, Serpong dan sekitarnya atau dimanapun ditempat bukan aslinya.
Di Jawa orang berjualan makanan karena dia memiliki keahlian dan kemampuan untuk membuat makanan yang enak. Biasanya berupa warisan keahlian turun temurun.. Dari beberapa tempat yang kerap saya datangi karena makanannya yang enak.. Usaha berjualan makanan itu merupakan usaha yang dikelola oleh keluarga. Jadi.. mereka pandai memasak makanan enak lalu mereka membuat usaha berjualan makanan dan memiliki pelanggan tetap karena orang akan kembali dan kembali lagi ketempat itu. Beberapa diantaranya dengan patuh mempunyai hari libur. Yang artinya kemampuan membuat makanan enak itu tidak serta merta membuat mereka lupa libur dan istirahat. Dan pelanggan dengan senang hati juga menjadi hafal dengan jadwal libur satu kedai makan tertentu.
Bandingkan bedanya dengan tempat makan yang dibuat berdasarkan orientasi bisnis. Seseorang memiliki modal usaha lalu merancang jenis usaha makanan yang menurutnya akan laku dijual dan disenangi banyak orang.. Maka sipemilik modal kemudian akan mencari juru masak yang cukup bisa memasak jenis makanan yang akan dijual tersebut. Tidak sedikit yang mendatangkan juru masak dari daerah asal satu makanan tersebut berasal. Misalnya bakmi Jowo, Coto Makassar, Mi Aceh... Jadi.. pemilik modal menghire juru masak untuk membuat jenis makanan tertentu.. Beda kan dengan tempat makan tradisional yang basicnya memiliki kemampuan membuat makanan enak lalu membuka kedai makan. Do you see what I mean?
Itulah makanya engga heran kalau satu tempat makan awalnya memiliki cita rasa otentik tentang sebuah hidangan, tapi lama kelamaan mungkin karena perjanjian kerjasama dengan tim pemasak asli sudah beakhir dan diharapkan pemasak asli itu sudah menularkan kepandaiannya memasak kepada pemula yang dilatih selama beberapa waktu untuk supaya pandai juga mengolah makanan sesuai cita rasa aslinya yang kemudian akan merubah rasa dari hidangan yang tadinya bisa dikatakan enak tetapi karena berubah tangan yang mengolahnya biasanya rasanya juga akan menjadi tidak seenak rasa aslinya. Ya begitulah..
Jadi.. akhirnya hari itu instead of jajan di Pasmod pulangnya saya buru-buru bikin sandwich. sarapan super gampang yang disukai semua dan rasanya sudah pasti tidak menyisakan feeling guilty seperti sehabis menyantap sepiring lontong sayur..
Hari saya belum berakhir di sepotong sandwich untuk sarapan.. Karena the next menu is already waiting for me. Ini sayapun masaknya ditengah-tengah beberes barang pindahan yang kelihatannya sedikit tapi kalau pas mau diberesin seperti yang gak beres-beres.. Beruntung saya punya asisten yang baik hati dan tidak sombong.. yang setiaa mau bantuin saya.. yang mau masakin buat anak-anak saya saat saya engga dirumah. Yang tetep dateng pagi-pagi padahal hujan.. Duuh Iyah.. Aku padamulah pokoknya.. Jadi biasanya Iyah itu yang akan menyiapkan perlengkapan memasaknya.. dan saya bertugas untuk mengeksekusinya. Kerjasama yang baik bukan..:)
Menu kedua untuk hari itu adalah Gulai ikan kakap ala Medan yang dibuat tanpa kecombrang karena biar sudah ngubek-ngubek Pasmod tetep aja gak nemu kecombrang yang harumnya khas dan memberi efek menyenangkan kalau ditambah kejenis masakan tertentu.
Kecombrang, kantan, atau honje (Etlingera elatior) adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran. Nama lainnya adalah kincung (Medan), kincuang dan sambuang (Minangkabau) serta siantan (Malaya). Orang Thai menyebutnya daalaa. Di Bali disebut kecicang sedangkan batang mudanya disebut bongkot dan keduanya bisa dipakai sambal (sambe matah) Wikipedia.
Akhirnya gulai tanpa kecombrang itu saya tambahin cabe hijau utuhan aja. Kadang saya tambah timun potongan.. supaya jadi mirip gulai ikan yang dijual di Sanur Bali itu.. :)
Bumbu gulai saya beli jadi dipenjual bumbu asal Medan di Pasmod. Karena penjualnya asli orang Medan biasanya pembeli dipanggil dengan sebutan Kaka.. Sama seperti kalau saya pulang ke kampungnya suami.. Panggilannya juga Kaka .. Kaka Inne.. haha.. why ever not.
Bumbu jadi itu selain praktis kandungannya juga super lengkap.. Saya kurang pandai lah ya kalau harus bikin bumbu-bumbu spicy khas orang Sumatera.. Makanya kadang kalau ke Medan pulangnya saya suka nenteng aneka bumbu seperti bumbu kari, gulai dan rendang.. selain ikan teri medan, belacan (untuk dibagi-bagi) dan pancake durian (bukan untuk dibagi-bagi.. ;)) Kebayang kan tentengannya kaya apa.. karena didalemnya pasti juga ada bika ambon dan bolu gulung Meranti.
Bikin gulai ikan ini kadang saya tambahkan santan encer, kadang juga engga. Dan rasanya sama enaknya.. Sebetulnya santan atau coconut milk itu bukan musuh manusia asal cara pengolahannya tidak melalui proses pemanasan. Jadi masakan bersantan yang melalui proses pemanasan yang lama atau yang dipanaskan berulang kali itu yaa kurang bagus yaa...
Siang itu saya juga makan dengan lahap serasa makan di rumah makan Padang..:)
Beres? Engga juga.. haha.. Ya ampuun. Memang suka sekali ya masakan aku apa gimana sih.. Karena sorenya without too much effort (kata-kata favorit yang sering saya pake untuk menunjukkan sesuatu yang cemen) saya masih bisa bikin ketan putih yang dilumuri kelapa parut. Yang ini gak ada fotonya.. karena bikinnya aja sambil nonton tivi. Beras ketan dimasak di magic jar.. Parutan kelapanya sudah disiapkan Iyah dan sudah dikukus siap pakai...
Maka selesai lah hari yang happy tummy disela-sela unpacking boxes pindahan.
Btw.. welcome home sir..
Serpong, 1/25/2017 4.36 pm
"Ih aku gak mau deh beli-beli lagi makanan kaya nasi tim gitu.. Ya ampun harganya mahal bangeet."
Hahaha.. Iya beneran banget saya masih gagal move on dari kehidupan di Semarang yang everything you can afford happily. Satu porsi nasi tim itu harganya hampir dua kali lipat harga Nasi Ayam yang enak. Nasi ayam itu adalah hidangan yang terdiri nasi liwet (hmm enak), lalu diberi suwiran daging ayam, telur pindang, tahu dan sayur labu siam berbumbu kuning sejenis lodeh. Dihidangkannya dipincuk yang beralaskan daun pisang.. Sedangkan nasi tim itu adalah hidangan nasi yang ditim dalam mangkuk sebesaran kobokan cuci tangan (gak lucu banget padanannya ya.. masa kobokan cuci tangan.. Tapi iya kaan.. cetakan nasi tim itu memang seperti kobokan cuci tangan.. Maap yaaa.. :P) pake daging ayam cincang dan dikasih separo telur asin dibagian tengahnya.
Lalu percakapan jadi merembet juga ke Lontong sayur Medan yang sebelumnya digemari suami saya tapi setelah pindah ke Semarang ternyata haduuh gak ada apa apanya deh rasanya... Hihii itu juga saya bilang mendingan lontong opor yang deket rumah ya (di Semarang maksudnya).. Yang rasa kuah santannya itu berasa santan kelapa asli berbaur dengan bumbu opor yan masih tercium harumnya sehingga anak saya gemar banget nyeruput kuah opor sama halnya dia menggemari juga kuah santan encer yang disajikan bersama nasi ayam. Lalu saya jadi teringat Warung makan Ibu Tum deket rumah yang buka dari hari Rabu-Minggu.. Hari Sabtu atau Minggu sehabis olahraga kadang (sering?) saya jajan pecel ditempat itu. Disitu gorengannya buanyaak, macem-macem dan enaak. Jadi saya senengannya memesan pecel yang tanpa tauge dan kacang panjang dengan bumbu yang ditaro dipinggirnya.. Karena apa bumbunya ditaro dipinggir? karena supaya saya sendiri yang memegang kendali atas sibumbu pecel itu.. :) Karena sebetulnya saya kurang suka jenis-jenis makanan berbumbu kacang yang kental.. Biasanya saat makan gado-gado atau siomay, saya pasti harus menyisihkan bumbu-bumbu itu.. Catat yaa.. saya yang memegang kendali atas si bumbu kacang.. hihi norak banget..
Di Warung itu biasanya saya memesan pecel dan tahu susur (tahu isi toge dan sayuran lain).
Lalu akhirnya obrolan jadi menyepakati tentang perbedaan antara tempat penjual makanan yang ada di Semarang khususnya di Jawa Tengah umumnya dan penjual makanan yang ada di Pasmod, Serpong dan sekitarnya atau dimanapun ditempat bukan aslinya.
Di Jawa orang berjualan makanan karena dia memiliki keahlian dan kemampuan untuk membuat makanan yang enak. Biasanya berupa warisan keahlian turun temurun.. Dari beberapa tempat yang kerap saya datangi karena makanannya yang enak.. Usaha berjualan makanan itu merupakan usaha yang dikelola oleh keluarga. Jadi.. mereka pandai memasak makanan enak lalu mereka membuat usaha berjualan makanan dan memiliki pelanggan tetap karena orang akan kembali dan kembali lagi ketempat itu. Beberapa diantaranya dengan patuh mempunyai hari libur. Yang artinya kemampuan membuat makanan enak itu tidak serta merta membuat mereka lupa libur dan istirahat. Dan pelanggan dengan senang hati juga menjadi hafal dengan jadwal libur satu kedai makan tertentu.
Bandingkan bedanya dengan tempat makan yang dibuat berdasarkan orientasi bisnis. Seseorang memiliki modal usaha lalu merancang jenis usaha makanan yang menurutnya akan laku dijual dan disenangi banyak orang.. Maka sipemilik modal kemudian akan mencari juru masak yang cukup bisa memasak jenis makanan yang akan dijual tersebut. Tidak sedikit yang mendatangkan juru masak dari daerah asal satu makanan tersebut berasal. Misalnya bakmi Jowo, Coto Makassar, Mi Aceh... Jadi.. pemilik modal menghire juru masak untuk membuat jenis makanan tertentu.. Beda kan dengan tempat makan tradisional yang basicnya memiliki kemampuan membuat makanan enak lalu membuka kedai makan. Do you see what I mean?
Itulah makanya engga heran kalau satu tempat makan awalnya memiliki cita rasa otentik tentang sebuah hidangan, tapi lama kelamaan mungkin karena perjanjian kerjasama dengan tim pemasak asli sudah beakhir dan diharapkan pemasak asli itu sudah menularkan kepandaiannya memasak kepada pemula yang dilatih selama beberapa waktu untuk supaya pandai juga mengolah makanan sesuai cita rasa aslinya yang kemudian akan merubah rasa dari hidangan yang tadinya bisa dikatakan enak tetapi karena berubah tangan yang mengolahnya biasanya rasanya juga akan menjadi tidak seenak rasa aslinya. Ya begitulah..
Jadi.. akhirnya hari itu instead of jajan di Pasmod pulangnya saya buru-buru bikin sandwich. sarapan super gampang yang disukai semua dan rasanya sudah pasti tidak menyisakan feeling guilty seperti sehabis menyantap sepiring lontong sayur..
Hari saya belum berakhir di sepotong sandwich untuk sarapan.. Karena the next menu is already waiting for me. Ini sayapun masaknya ditengah-tengah beberes barang pindahan yang kelihatannya sedikit tapi kalau pas mau diberesin seperti yang gak beres-beres.. Beruntung saya punya asisten yang baik hati dan tidak sombong.. yang setiaa mau bantuin saya.. yang mau masakin buat anak-anak saya saat saya engga dirumah. Yang tetep dateng pagi-pagi padahal hujan.. Duuh Iyah.. Aku padamulah pokoknya.. Jadi biasanya Iyah itu yang akan menyiapkan perlengkapan memasaknya.. dan saya bertugas untuk mengeksekusinya. Kerjasama yang baik bukan..:)
Menu kedua untuk hari itu adalah Gulai ikan kakap ala Medan yang dibuat tanpa kecombrang karena biar sudah ngubek-ngubek Pasmod tetep aja gak nemu kecombrang yang harumnya khas dan memberi efek menyenangkan kalau ditambah kejenis masakan tertentu.
Kecombrang, kantan, atau honje (Etlingera elatior) adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran. Nama lainnya adalah kincung (Medan), kincuang dan sambuang (Minangkabau) serta siantan (Malaya). Orang Thai menyebutnya daalaa. Di Bali disebut kecicang sedangkan batang mudanya disebut bongkot dan keduanya bisa dipakai sambal (sambe matah) Wikipedia.
Akhirnya gulai tanpa kecombrang itu saya tambahin cabe hijau utuhan aja. Kadang saya tambah timun potongan.. supaya jadi mirip gulai ikan yang dijual di Sanur Bali itu.. :)
Bumbu gulai saya beli jadi dipenjual bumbu asal Medan di Pasmod. Karena penjualnya asli orang Medan biasanya pembeli dipanggil dengan sebutan Kaka.. Sama seperti kalau saya pulang ke kampungnya suami.. Panggilannya juga Kaka .. Kaka Inne.. haha.. why ever not.
Bumbu jadi itu selain praktis kandungannya juga super lengkap.. Saya kurang pandai lah ya kalau harus bikin bumbu-bumbu spicy khas orang Sumatera.. Makanya kadang kalau ke Medan pulangnya saya suka nenteng aneka bumbu seperti bumbu kari, gulai dan rendang.. selain ikan teri medan, belacan (untuk dibagi-bagi) dan pancake durian (bukan untuk dibagi-bagi.. ;)) Kebayang kan tentengannya kaya apa.. karena didalemnya pasti juga ada bika ambon dan bolu gulung Meranti.
Bikin gulai ikan ini kadang saya tambahkan santan encer, kadang juga engga. Dan rasanya sama enaknya.. Sebetulnya santan atau coconut milk itu bukan musuh manusia asal cara pengolahannya tidak melalui proses pemanasan. Jadi masakan bersantan yang melalui proses pemanasan yang lama atau yang dipanaskan berulang kali itu yaa kurang bagus yaa...
Siang itu saya juga makan dengan lahap serasa makan di rumah makan Padang..:)
Beres? Engga juga.. haha.. Ya ampuun. Memang suka sekali ya masakan aku apa gimana sih.. Karena sorenya without too much effort (kata-kata favorit yang sering saya pake untuk menunjukkan sesuatu yang cemen) saya masih bisa bikin ketan putih yang dilumuri kelapa parut. Yang ini gak ada fotonya.. karena bikinnya aja sambil nonton tivi. Beras ketan dimasak di magic jar.. Parutan kelapanya sudah disiapkan Iyah dan sudah dikukus siap pakai...
Maka selesai lah hari yang happy tummy disela-sela unpacking boxes pindahan.
Btw.. welcome home sir..
Serpong, 1/25/2017 4.36 pm
Komentar
Posting Komentar